Saturday, May 1, 2010

Kuda Lumping






Kebetulan eskul (ekstra kurikuler) yang dipilih Ogie, pelajar SLTP Teluk Betung, Bandar Lampung adalah tarian daerah. Namun Ogie tidak menguasai tari Lampung sehingga sebagai ketua rombongan eskul ia mengusulkan latihan tarian daerah Jawa yaitu Jathilan atau Kuda Kepang.

Mula-mula, Ogi dan tiga temannya hanya menggunakan gagang sapu sebagai kudanya, lalu ketika sudah mahir memainkan geraknya, oleh pelatihnya ditingkatkan porsi latihan dengan menggunakan kuda yang dianyam (kepang ) dari bambu.

Karena Lampung relatif banyak orang Jawa dan juga keseniannya, maka tak sukar baginya menyewa peralatan berupa kuda kepang sekaligus kaset pada rombongan kuda kepang yang mati suri alias sepi order.

Ogi mendapatkan kuda bercat hitam, besar dan sangar. Untuk lagu pengiringnya digunakan kaset lagu jawa "Jathilan."

Tari ini memang dinamis, dan suasana menjadi meriah apalagi ditingkahi oleh suara cemeti memecah udara yang dimainkan oleh teman Ogi.

Tetapi ketika irama lagu "ning nang ning gong" mulai dipercepat temponya, Ogi mulai merasakan bahwa kuda-kepangnya semakin terasa berat, bahkan cenderung membangkang gerakan yang diinginkan Ogi. Misalnya, menurut latihan ia harus memutar kuda ke kiri tiba-tiba kuda malahan menyeruduk keluar barisan. Bahkan penunggang merasa anyaman kuda makin berat.

"Tangan dan kaki saya pegal, seperti kesemutan. Lalu pandangan mulai berkunang-kunang. Suara teman-teman makin terdengar sayup, dan akhirnya tangan dan kaki seperti kaku." Begitu pengakuannya Ogie Saputro kepada pakdenya.

Beruntung pak Mul, guru olah raga merangkap kesenian mencium gelagat kurang kondusif dan berada diluar kendali. Iapun maklum, kuda kepang sewaan muridnya ini biasanya “ndadi” dimana penari seperti tidak sadar sehingga mampu makan kembang, padi, bahkan pecahan kaca.

"Saya masih bisa dengar pak Willy bilang, sesampainya dirumah disarankan untuk langsung mandi."

Kemungkinan sang danyang kuda lama tak berlatih, “ia” kangen sehingga saat rumahnya dimainkan anak-anak ia ikutan gatel untuk ngibing. Kemungkinan lain karena pakem tarian aselinya dimodifikasi semena-mena oleh bocah Oggie, sang danyang protes. Maklum anak-anak mereka juga tak perduli dengan persiapan "caos-dahar" atau ubo rampe layaknya sebuah ritual pendahuluan pagelaran tari Kuda Lumping.

"Untung saja Ogi masih doyan nasi, coba kalau doyan beling, bisa berabe saya menyediakan sarapannya setiap hari," kata ibunya (adik saya) sambil mengurut puteranya yang kadang masih menyeringai kesakitan. Ibunya juga sadar apapun makanannya, teh botol minumannya.

No comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2010 kudang kepang | Design : Noyod.Com | Images : Red_Priest_Usada, flashouille